Senin, 25 Oktober 2010

Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena

kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan,
berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional.
Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing).
Secara singkat, pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak

rasional apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan
kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance &
Millington, 1986). Di sini terkandung aspek manfaat, risiko efek samping dan biaya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam membuat pertimbangan mengenai manfaat, risiko dan biaya ini masing-masing dokter dapat berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau diperkecil kalau komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.

DAMPAK NEGATIF PEMAKAIAN OBAT YANG TIDAK RASIONAL

Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti halnya faktor-faktor
pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut :
  1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan
    Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu. Misalnya, kebiasaan untuk selalu memberi antibiotik dan anti-diare terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran rehidrasi oral (Oralit) yang memadai, akan berdampak negatif terhadap upaya penurunan mortalitas diare. Juga pemakaian tetrasiklin pada kasus-kasus faringitis streptokokus (yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta-hemolitikus) akan berdampak negatif terhadap upaya pencegahan demam rematik oleh karena tetrasiklin bukan obat pilihan untuk faringitis streptokokus.
  2. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan

    Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisi-kondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan, baik dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat paten yang mahal, jika ada alternatif obat generik dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidak rasionalan.
  3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat

    Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh pemakaian obat yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis (multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi (Levy, 1982). Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang nyata pada seorang penderita tetapi jelas merupakan konsekuensi serius secara epidemiologik.
  4. Dampak psikososial


    Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter seringkali akan memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu tergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena terlalu percaya atau tergantung pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu ditinggalkan. Sebagai contoh, karena terlalu percaya bahwa pemakaian obat seperti aspirin secara terus-menerus akan dapat mencegah penyakit jantung koroner, maka profilaksi-profilaksi yang lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas misalnya, tidak merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya pada pemberian profilaksi antibiotika maka tindakan-tindakan aseptik pada pembedahan lalu tidak diperhatikan secara ketat.
    Beberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang terperhatikan sewaktu dokter menulis resepatau memutuskan pengobatan, tetapi baru akan jelas kalau dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampak-dampak negatif lain yang belum tercakup, tetapi yang penting adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah semata-mata sesuatu yang teoritis saja.
CIRI PEMAKAIAN OBAT YANG TIDAK RASIONAL :
Seperti diutarakan di muka, secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak rasional kalau manfaat yang didapat tidak sebanding dengan kemungkinan risiko yang disandang pasien atau biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi secara lebih luas pemakaian obat yang tidak rasional akan memberikan ciri-ciri umum seperti yang diuraikan berikut:
  1. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak ada atau samar-samar.
  2. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
  3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak sesuai.
  4. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek samping lebih kecil juga ada.
  5. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
  6. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
  7. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan keamanannya masih diragukan.
    Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu kepada
    sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya.
  8. Pemakaian obat yang didasarkan pada instink dan intuisi tanpa melihat fakta dan kebenaran ilmiah yang lajim. Ini misalnya terlihat pada dokter-dokter yang meng-klaim mempunyai cara-cara inkonvensional dalam pengobatan.
  9. Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak kesemuanya dapat diuraikan di sini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi dan kriteria serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut.
  10. Masing-masing ciri yang digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan saling terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%) dari pasien-pasien yang datang ke Puskesmas mendapatkan suntikan (Ministry of Health, 1988) walau tidak jelas indikasi medik pemberian suntikan tersebut. Bila disimak lebih lanjut tingginya pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik tidak jelas, tetapi juga memenuhi ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan diatas.
 cpy: UGM KEdokteran farmakologi

Senin, 18 Oktober 2010

5 Hal yang Tak Perlu Dirahasiakan pada Dokter Kandungan


AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
(Foto: thinkstock)Jakarta, Membicarakan kehamilan ada etikanya, tidak semuanya perlu dibahas jika tidak ingin membuat orang lain tersinggung. Lain halnya saat berhadapan dengan dokter kandungan, beberapa hal berikut ini benar-benar harus disampaikan apa adanya.
Seorang dokter bekerja di bawah sumpah, sehingga tidak boleh sembarangan mengumbar gosip tentang pasiennya. Jadi jangan khawatir, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi demi kesehatan dan keselamatan kandungan itu sendiri.
Dikutip dari CNN, Jumat (8/10/10), hal-hal yang penting untuk disampaikan dengan jujur saat memeriksakan kandungan di antaranya adalah
1. Siapa ayah dari anak yang dikandung?

Dokter tidak sedang bicara soal moral dan legalitas perkawinan ketika menanyakan hal tersebut. Beberapa hal menyangkut kesehatan janin erat kaitannya dengan garis keturunan, sehingga penting untuk diketahui.
Contohnya jika golongan darah sang ibu bertipe negatif sementara ayahnya positif, maka sang ibu perlu disuntik Rh imunoglobulin untuk menjamin keselamatan janin. Berkaitan dengan etnis juga perlu disampaikan, sebab

perkawinan antaretnis tertentu punya risiko lebih tinggi untuk menghasilkan penyakit keturunan.
2. Apakah sering mengonsumsi alkohol?
Jangan khawatir, dokter tidak akan menghukum seseorang yang minum alkohol karena bukan kewenangannya. Konsumsi alkohol penting untuk diketahui karena berkaitan dengan reaksi dan interaksi obat di dalam tubuh.
Selain itu, konsumsi alkohol juga meningkatkan risiko kanker payudara sehingga dokter bisa menentukan jenis pemeriksaan dengan lebih efisien. Jadi buat apa ditutup-tutupi?

3. Pernah berhubungan seks dengan berapa orang?
Rasanya dokter tidak akan meminta pasiennya menyebutkan satu persatu. Pertanyaan ini hanya ingin memastikan kecenderungan seksual seseorang, apakah monogami atau poligami (resmi atau tidak resmi).
Apabila ada kecenderungan poligami atau berhubungan seks dengan lebih dari pasangan, seseorang lebih berisiko terjangkit infeksi menular seksual (IMS). Dalam kondisi semacam ini, dokter perlu memprioritaskan pemeriksaan yang sesuai.
4. Pernahkah melakukan aborsi?

Biasanya dokter akan menanyakan hal ini pada pasien yang datang dengan keluhan sulit punya keturunan. Hal ini tentu saja penting diketahui karena erat kaitannya dengan kesehatan organ reproduksi.
Jika seseorang pernah aborsi, kemungkinannya adalah pasien tersebut pernah subur lalu menjadi tidak subur karena dikuret dan terjadi luka. Selain itu luka bekas aborsi juga penting diketahui jika hendak menjalani operasi leher rahim, karena pasti butuh penanganan berbeda.
5. Apakah gairah seks menurun?

Segala hal yang menyangkut gariah seks memang paling nyaman jika dibicarakan dengan pasangan. Namun jika dokter kandungan menanyakan hal itu, akui saja apa yang dirasakan sebab sebenarnya dokter sedang memeriksa kondisi hormonal pasiennya.

Gairah seks yang menurun bisa saja menandakan depresi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kesuburan, kehamilan dan janin. Namun yang paling penting, gejala ini juga menunjukkan adanya gangguan tiroid yang bisa mempengaruhi metabolisme secara umum.
(up/ir)

Popular Posts

Recent Posts

MASUKAN KODE BUKU TAMU/WIDGET DISINI

Unordered List

Categories

Text Widget

logo

logo

logo

logo

SERTIFIKAT BAN-PT UNTUK FARMASI DAN KEBIDANAN